Netralitas KPU Terancam

Sabtu, 27 November 2010 | 00:59 WIB
Pemilihan Umum 2014 memang masih lama, tapi upaya untuk mempengaruhi hasil pesta demokrasi itu sudah mulai berlangsung. Ini terlihat dari hasil revisi Undang-Undang Penyelenggaraan Pemilu, yang menetapkan bahwa lembaga penyelenggara dan pengawas pemilu diisi orang-orang partai politik. Jika tak ada upaya membatalkan atau memperbaiki revisi tersebut, Pemilu 2014 sulit mendapat legitimasi sebagai pemilu yang netral.

Revisi atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2007 itu sudah dilakukan Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat. Hasil revisi adalah Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilu akan diisi orang-orang perwakilan partai politik. Anggota KPU diputuskan berjumlah sembilan orang dan berasal dari partai-partai yang memenuhi batas perolehan suara untuk parlemen (parliamentary threshold). Tidak hanya itu, anggota Dewan Kehormatan KPU juga akan terdiri atas para politikus.

Memang ada ketentuan bahwa anggota KPU dari partai politik harus mengundurkan diri dulu dari partainya. Tapi ketentuan ini tak menjamin bahwa mereka sama sekali lepas dari kepentingan untuk membela bekas partainya.

Revisi itu nyata-nyata telah mencederai spirit konstitusi yang memerintahkan bahwa KPU harus independen. Undang-Undang Dasar 1945 Bab VII-B Pasal 22-E Ayat 5 menyebutkan, pemilu diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Pasal ini mengisyaratkan para komisioner haruslah orang-orang yang tak berkaitan dengan partai. Alasannya jelas, demi netralitas pelaksanaan pemilihan umum.

Prinsip-prinsip itulah yang terancam hilang. Revisi itu akan menjadikan partai politik sebagai pemain sekaligus wasit dalam pemilihan umum. Bisa ditebak, orang-orang berafiliasi partai di KPU pasti akan berusaha agar partainya diuntungkan dalam pemilihan umum. Semua proses kerja di KPU pun bakal rawan konflik kepentingan, dari pemilihan Ketua KPU, proses pencalonan, pembagian jadwal kampanye, hingga penetapan perolehan suara.

Kekhawatiran itu bukan tanpa alasan. Masih jelas dalam ingatan kekisruhan dalam Pemilihan Umum 1999. Saat itu KPU, yang terdiri atas orang-orang partai politik, gagal menetapkan hasil pemilu karena adanya benturan kepentingan masing-masing komisioner. Hasil pemilu akhirnya ditetapkan Presiden B.J. Habibie melalui sebuah keputusan presiden.

Kerawanan semacam itu besar kemungkinan terulang kembali dalam Pemilu 2014 jika revisi tersebut tak dikoreksi. Peluang mengoreksi masih terbuka karena hasil revisi masih akan dibahas di Badan Legislatif dan Rapat Paripurna DPR. Dua fraksi penentang keterlibatan orang-orang partai politik di KPU dituntut bekerja lebih keras meyakinkan koleganya di parlemen untuk mengembalikan independensi KPU.

Desakan untuk melakukan koreksi itu juga harus dilakukan kelompok-kelompok masyarakat. Membiarkan saja orang-orang partai politik menguasai KPU sama artinya menjadikan masyarakat sebagai obyek belaka dalam pemilu mendatang.